Suatu kali, bersama Jusupadi Danuhadiningrat, pemuda asal Yogyakarta, dan Adnan Kapau Gani, pemuda Minangkabau penyuka makanan Palembang, Muhammad Yamin berkelakar tentang persatuan “menu” Nusantara. “Kalau situ dahar gudeg ame nasi, jangan lupa plus ama pempek-nya,” ucap Adnan. Yamin lalu nyeletuk, “Dan bagus-an lagi, tambah rendang.” Sebagai penggerak Kongres Pemuda I, 2 Mei 1926, Muhammad Yamin menyadari bahasa Indonesia sebagai salah satu wujud persatuan. Sementara dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia 11 Juli 1945, dia pun mengusulkan agar rancangan konstitusi perlu memasukkan declaration of human rights and independence.
Namun, sederet kontroversi menyelimuti Muhammad Yamin: menyembunyikan naskah otentik perumusan dasar negara, mengaku berpidato dan menyerahkan rancangan hukum dasar mirip UUD 1945, juga menciptakan figur Gajah Mada yang mengabaikan verifikasi arkeologis. Di ranah politik Yamin tak hanya berpindah-pindah partai. Ia juga sigap melompat keluar dari jalur non kooperatif ketika sejumlah tokoh pergerakan sealiran ditangkap Belanda. Dia salah satu pelaku kudeta pertama dalam sejarah Indonesia merdeka pada 3 Juli 1946. Sejarah memang memiliki kegilaannya sendiri. Yang terpenting dipelajari dari Yamin barangkali bahwa revolusi Indonesia harus dipandang secara lebih rileks. Tak perlu ada glorifikasi karena mozaik itu disusun oleh manusia biasa. Muhammad Yamin salah satunya. Kisah Muhammad Yamin adalah satu dari sembilan cerita tentang para bapak bangsa: Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, Hamengku Buwono IX, Tjokroaminoto, dan Douwes Dekker. Diangkat dari edisi khusus Majalah Berita Mingguan Tempo, serial buku ini mereportase ulang kehidupan para pendiri republik. Mulai dari pergolakan pemikiran, petualangan, ketakutan, hingga kisah cinta dan cerita kamar tidur mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar