Deskripsi:
Di Kampus UDEL, terjebaklah tujuh mahasiswa yang hidup segan kuliah tak mau. Mereka terpaksa kuliah di kampus yang Google saja tak dapat mendeteksi. Cobalah sekarang Anda googling "Kampus UDEL", takkan bertemu! Alasan mereka masuk UDEL macam-macam. Ada yang otaknya tak mampu masuk negeri, ada yang orang tuanya tak cukup biaya masuk swasta unggul, ada pula yang karena ... biar kuliah aja. Hari pertama kuliah, Ibu Lira Estrini dosen konseling yang masih muda menggemparkan kelas dengan sebuah kejadian gila, lucu dan tak masuk akal. Ia membawa sekotak piza dan koper berisi tikus. Seisi kelas panik, tapi anehnya, semangat para mahasiswa buangan ini justru terbakar untuk berani bermimpi! Akankah mereka bertahan di kampus amburadul ini? Sekalipun iya, bisakah mereka jadi sarjana yang tidak sekadar di atas kertas? ***
Buku ini wajib dibaca pelajar SMA, mahasiswa, para orang tua, karyawan, petinggi perusahaan, para pengambil kebijakan di institusi pendidikan, anak start-up, anak muda berkarya, pengemudi ojek online, abang ondel-ondel, hingga Presiden Korea Utara agar kita dapat memutuskan seberapa penting sebenarnya nilai sebuah ijazah. Buku pertama dari serial KAMI (BUKAN) SARJANA KERTAS
Profil Penulis:
JOMBANG SANTANI KHAIREN adalah penulis muda kelahiran Padang yang produktif. Karya-karyanya dapat ditemukan dengan mudah di rak-rak best seller toko buku offline maupun online. Di antara yang populer adalah Melangkah (2020), Kado Terbaik (2022), Bungkam Suara (2023), dan Dompet Ayah Sepatu Ibu (2023). Selain aktif di media sosial untuk mempromosikan buku bukunya, Khairen juga penulis yang vokal melawan pembajakan buku. Ia bisa disapa di berbagai platform media sosial miliknya.
Review:
Novel ini menceritakan sekolompok mahasiswa di Universitas Daulat Eka Laksana atau disingkat UDEL. Berawal dari kelas konseling yang terdiri dari beberapa kelompok membuat mereka tergabung dan melahirkan cerita baru. Kelompok ini diketuai oleh Ogi, dengan anggotanya yaitu Ranjau, Arko, Gala, Juwisa, Sania, dan Cathrine. Tidak lupa ada Bu Lira selaku dosen pengampu kelas konseling.
Buku ini membawa misi besar yang kalau dituang dalam kalimat sederhana menjadi, ‘apalah arti sebuah ijazah’. Ya, poin besar yang dimaksud penulis — seperti yang terlihat dari judulnya — yaitu ingin menggambarkan bahwasannya ijazah tidak sebegitu berartinya dalam menentukan kesuksesan seseorang.
Sarjana Kertas, sarjana yang hanya sebatas kertas. Sejujurnya ini adalah permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas, melihat di zaman sekarang tidak sedikit praktik penyelewengan akademi perihal adanya ijazah palsu. Banyak orang semata-mata mengejar gelar yang dipikirnya dapat membuatnya hidup enak. Atau malah, gelar sekedar untuk meningkatkan gengsi dan egoisme.
Di antara banyaknya tokoh yang terlibat, saya merasa maksud penulis sudah cukup tergambar oleh dua tokoh sentral yaitu Ogi dan Ranjau. Ogi adalah mahasiswa setengah hati, sedangkan Ranjau sangat bersungguh-sungguh dalam perkuliahannya. Namun di tengah perjalan yang tidak enak menurut Ogi, ia menemukan bakatnya sendiri yaitu dalam dunia TI. Semakin lama Ogi semakin berkembang di situ, hingga ia dapat bekerja di perusahan TI internasional di Amerika. Itu semua Ogi dapatkan tanpa ia harus menyelesaikan pendidikannya di UDEL.
Lain Ogi, lain pula Ranjau. Ranjau menyelesaikan kuliahnya dengan cepat dan penuh ambisius. Ia juga lulus dengan predikat Cum Laude. Namun selepas lulusnya, Ranjau tidak juga mendapat pekerjaan hingga berbulan-bulan lamanya. Hingga di bulan keempat, barulah Ranjau mendapat kesempatan secara tidak sengaja — tanpa harus mengirim CV atau lamaran — untuk bekerja sebagai wartawan.
Cerita yang menarik, bukan? Sayangnya di tengah perjalanan membaca buku ini, saya justru menemukan kejenuhan. Kalau bukan untuk meresensi buku ini, mungkin saya tidak akan selesai membacanya. Novel ini memiliki gaya penulisan yang sederhana, bahkan cenderung nyeleneh. Mengingat penulis merupakan orang Sumatra Barat, gaya menulisnya ada ke-melayu-an. Atau lebih tepatnya, melayu-gaul yang menurut saya seperti dipaksakan. Di sisi lain, alur novel ini cukup lambat dan beberapa kali keluar dari konteks. Karena itu dapat saya katakan, 355 halaman menjadi sangat tebal untuk cerita ini.
Selain itu, novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, dengan tokohnya yang bergantian. Mungkin masuk penulis agar menunjukkan ke pembaca bahwasannya setiap tokoh memiliki kisah tersendiri, akan tetapi fokus cerita menjadi terbagi dan kemana-mana. Penulis juga rentan mengulang kata-kata yang sering membuat saya jengah: gempar menggelegar. Baiklah, jika memang begitu maksudnya. Mungkin saya sebagai pembaca yang hanya tidak satu selera dengan penulis ini.
Ada satu hal yang cukup menjadi perhatian saya dari segi logika cerita. Setelah Ogi sudah bertahun-tahun berkarir di negeri orang di perusahaan sekelas Google, di akhir cerita barulah Ogi membangunkan rumah untuk Ibunya, sedangkan selama ini Ibu dan adiknya tinggal di kontrakan kecil. Mengingat karakter Ogi digambarkan sayang dengan keluarga, saya rasa hal ini tidak masuk akal.
Di balik semua kritik saya, saya sangat mengapresiasi penulis memberikan banyak kata mutiara dalam buku ini. Pada akhir bab penulis menaruh quote yang dapat diambil dari bagian tersebut. Pilihan saya jatuh pada kalimat ini,
“Kita kerap mendikte Sang Mahapasti dengan doa-doa yang ajaib. Meminta yang tak kita butuhkan, mengharap lebih dari yang diperlukan. Padahal kita tahu, ia adalah penulis scenario terbaik. Yang selalu memberi pas takaran.” (hlm. 256)
Di ulas oleh: Ditha K
Anda tertarik dengan buku ini?
Judul | Rating | Cerita & Ilustrasi | Tebal | Berat | Format | Tanggal Terbit | Dimensi | ISBN | Penerbit |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Judul:Kami (Bukan) Sarjana Kertas | Rating: 4.9 | Cerita & Ilustrasi: J.S. Khairen | Tebal: 400 halaman | Berat: 0.25 kg | Format: Soft Cover | Tanggal Terbit: 28 February 2024 | Dimensi: 20 x 13.5 cm | ISBN: 9786020530703 | Penerbit: Gramedia Widiasarana Indonesia |
Dapatkan buku ini di Marketplace maupun di Gramedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar